Kekeringan yang melanda Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro, Jawa Timur, terus meluas. Di Kabupaten Lamongan, kekeringan sudah mencapai 18 desa yang tersebar di sejumlah kecamatan. Sedangkan di Kabupaten Bojonegoro, kekeringan menimpa 32 desa di 11 kecamatan.
Surabaya-Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur mencatat sedikitnya 250 desa di wilayah Jawa Timur sudah mengalami kekeringan. Mereka tersebar di 16 kabupaten/kota dengan kondisi yang paling parah di wilayah Madura. “Ini catatan sampai dengan 12 September lalu,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur Sudharmawan.
Sebanyak 16 kabupaten/kota antara lain Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Madiun, Ngawi, Magetan, Bojonegoro, Probolinggo, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Bondowoso, dan Mojokerto. Kondisi terparah terdapat di Pulau Madura.
Menurut Sudharmawan, kekeringan itu terjadi karena kelangkaan sumber air. Pihak BPBD masih menghitung berapa besar kerugian akibat kekeringan ini. Untuk mengantisipasi krisi air bersih, BPBD telah menyediakan 1.933 tandon untuk mendroping air di semua desa terdampak. Setiap tandon memiliki kapasitas 2.200 liter air.
Ia memperkirakan kemarau tahun ini akan berlangsung lebih pendek dibandingkan sebelumnya.Jumlah kabupaten/kota yang mengalami kekeringan tahun ini menurun. Pada 2012 lalu, ada 23 kabupaten/kota yang terdampak kekeringan pada puncaknya di bulan September. Sudharmawan mengklaim hal itu disebabkan adanya upaya mitigasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur cukup berhasil. “Dari dimensi upaya, penurunan itu salah satu indikator mitigasi pemerintah menunjukkan hasil,” kata dia.
Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah diantaranya adalah pembuatan embung geomembran. Pada 2012 lalu, sudah 21 embung yang telah dibangun. Satu embung berkapasitas 5 ribu meter kubik air atau 5 juta liter. Sesuai dengan standar Millenium Development Goal’s, satu embung bisa dimanfaatkan 2.500 jiwa per hari (1 jiwa=20 liter per hari).
Pada 2013 ini, Dinas Pengairan Jawa Timur tengah mengerjakan 50 embung geomembran dan 100 embung pada 2014. Keberadaan embung ini merupakan salah satu bentuk mitigasi struktural untuk memperkecil desa terdampak kekeringan. Upaya ini juga disinergikan dengan pengeboran air sumber dalam yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Dinas Energi Sumber Daya Mineral.
Kekeringan di Jawa Timur tahun ini mundur dari biasanya. Pada Agustus lalu, hujan masih terjadi di sejumlah wilayah walaupun tidak merata. Praktis, kekeringan baru terjadi pada September. erdasarkan prediksi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika, sepanjang 2013 ini Jawa Timur memang mengalami musim kemarau basah. Curah hujan berkisar antara 0-50 milimeter. Sedangkan Oktober nanti, Jawa Timur sudah mulai memasuki musim pancaroba dengan dengan curah hujan antara 50-100 milimeter bahkan bisa 100-400 milimeter. “Bisa dikatakan kekeringan tahun ini lebih pendek,” ujar Sudharmawan.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lamongan, 18 desa tersebut terdapat di Kecamatan Sukodadi, Kecamatan Tikung, Kecamatan Karangbinangun, Kecamatan Deket, Kecamatan Sarirejo, dan Kecamatan Kota Lamongan. “Wilayah yang dilanda kekeringan akan terus meluas karena musim kemarau masih akan berlangsung,” kata juru bicara Pemerintah Kabupaten Lamongan Mohammad Zamroni kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober 2013.
Sejumlah kantong air, seperti Waduk Gondang serta puluhan embung, debit airnya mengecil, bahkan sudah ada yang kering. Zamroni mengatakan, untuk mengatasi krisis air bersih bagi penduduk, sudah disiapkan 179 unit tangki air bersih dan 350 jerigen. “Pendistribusiannya dikoordinir oleh BPBD dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),” ujarnya.
Zamroni meminta seluruh kepada desa yang daerahnya dilanda kekeringan segera memberikan laporan kepada BPBD agar mendapatkan pengiriman air bersih. Sekretaris BPBD Kabupaten Bojonegoro Budi Moelyono menjelaskan, sebelumnya kekeringan meliputi 28 desa. Namun, karena musim kemarau terus berkepanjangan, jumlahnya bertambah menjadi 32 desa, terutama yang terletak di bagian barat daya Kabupaten Bojonegoro.
“Karena belum ada tanda-tanda akan turun hujan, jumlah desa yang dilanda kekeringan masih akan bertambah,” ucap Budi. Menurut Budi, pintu air sejumlah waduk, seperti Waduk Pacal, sudah ditutup guna menampung air, untuk kebutuhan air bersih bagi penduduk serta irigasi pertanian. Sebab, masih ada sawah yang ditanami padi.
Tak kurang dari 24 ribu lebih keluarga di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mengalami krisis air bersih memasuki musim kemarau ini. Sebagian besar keluarga yang kekurangan air bersih ini terdapat di Lumajang bagian utara. Pasokan air bersih dari pemerintah juga belum cukup memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Berdasarkan Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang, krisis air bersih ini melanda 106 dusun di 39 desa di Kabupaten Lumajang. “Daerahnya meliputi enam kecamatan di Kabupaten Lumajang,” kata Kepala Sub-Bidang Logistik BPBD Lumajang, Paryono, Selasa, 27 Agustus 2013. Dari 39 desa tersebut, 22 desa di antaranya berkondisi kritis. “Artinya, harus selalu dipasok air,” kata Paryono.
Sebanyak 22 desa yang dalam kondisi kritis karena kekurangan air bersih ini terdapat di Kecamatan Ranuyoso, Randuagung, Klakah, Gucialit, Padang, dan Kedungjajang. Data BPBD menyebutkan, secara detail, ada 87.250 jiwa warga Kabupaten Lumajang di enam kecamatan tersebut yang mengalami krisis air bersih. Krisis air bersih ini membuat warga yang berada di daerah kritis lebih memprioritaskan pemenuhan air untuk keperluan memasak dan minum saja.
“Air hanya untuk kebutuhan memasak dan minum,” kata Paryono. Sedangkan untuk mencuci pakaian dan mandi, warga harus pergi agak jauh dari rumahnya menuju sumber mata air yang juga sudah menurun drastis debit airnya. “Sebagian besar harus membelinya untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari,” katanya. Paryono mengatakan, kawasan utara Kabupaten Lumajang selama ini memang merupakan daerah rawan bencana kekeringan ketika memasuki musim kemarau.
Biasanya, ketika musim hujan, warga menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. “Tetapi sekarang, air hujan hanya untuk keperluan mandi dan mencuci,” katanya. Sedangkan untuk keperluan masak dan minum, warga harus membeli atau menunggu pasokan air dari pemerintah. Paryono mengatakan, untuk menanggulangi dampak kemarau ini, pemerintah melalui BPBD Lumajang memasok air untuk desa yang dalam kondisi kritis.
“Namun, karena keterbatasan kemampuan, hanya mampu enam desa setiap harinya,” katanya. Karena itu, pemerintah menjadwal secara bergiliran desa-desa yang akan dipasok air bersih. Sejumlah desa di lima kecamatan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mulai mengalami krisis air bersih akibat kemarau panjang. Masyarakat di wilayah pantai selatan bahkan harus bergantian mendapatkan jatah air bersih dari sumber mata air.
Sekretaris Palang Merah Indonesia Kabupaten Malang, Aprilianto, mencatat beberapa desa yang kesulitan mendapatkan air bersih antara lain Desa Sumbermanjing Wetan dan Desa Tambakrejo di Kecamatan Sumbermanjing Wetan; Desa Pagak dan Desa Gampingan di Kecamatan Pagak; Desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung; Desa Gunungjati, Kecamatan Jabung; serta Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari.
Namun, hingga sekarang baru Dusun Blandit Timur di Desa Wonorejo, Singosari, yang telah meminta pasokan air bersih, dan masyarakat di sana juga sudah terlayani. “Kami bekerja sama dengan PDAM (perusahaan daerah air minum), dan teknis di lapangan kami yang tangani,” kata Aprilianto, Rabu, 25 September 2013.
Menurut dia, pengiriman air bersih dilakukan dua hari sekali sejak 17 September lalu. PDAM mengangkut air dengan dua mobil tangki berkapasitas 5.000 liter per tangki. Semula, sekitar 600 keluarga kesulitan mendapat air bersih karena debit sumber air di dusun tetangga, yang berjarak 3 kilometer dari Dusun Blandit Timur, kian mengecil. Sekarang air bersih sudah bisa diatasi karena pengiriman air bersih terus dilakukan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Malang, Hafi Lutfi, menambahkan, sesuai mekanisme, permohonan air bersih harus disampaikan oleh pemerintah desa melalui pemerintah camat untuk diteruskan ke BPBD, dan dari BPBD surat permohonan diteruskan lagi ke PMI karena PMI-lah yang mempunyai mobil tangki sekaligus berwenang melakukan suplai air bersih.
Saat ini, krisis air bersih juga dialami masyarakat Desa Gunungjati di Kecamatan Jabung. Namun, pemerintah desa di sana belum mengajukan permohonan pasokan air bersih. “Kalau belum memohon, itu tandanya masyarakat di sana masih bisa mengatasi. Tapi, pada prinsipnya, kami siap mengirimkan air yang dibutuhkan,” kata dia.
Sudarsono, Kepala Desa Tambakrejo di Kecamatan Sumbermanjing Wetan, mengatakan warganya harus bergiliran mendapatkan air bersih karena debit air di Sumber Pasen dan Sumber Sendangbiru berkurang hingga 75 persen. Debit air Sumber Pasen menyusut dari 8 liter menjadi 2 liter per detik.
Menurut dia, sehari-hari, air Sumber Pasen dimanfaatkan sekitar 280 keluarga yang mendiami RT 002 di Dusun Sendangbiru Utara. Sedangkan 600 keluarga di Dusun Sendangbiru Selatan juga kesusahan mendapatkan air bersih karena debit air Sumber Sendangbiru berkurang dari 20 liter menjadi 10 liter per detik. “Sekarang warga kami bergiliran mengambil air. Ini hasil kesepakatan bersama agar setiap warga bisa mendapatkan air bersih secara merata dan tercukupi,” kata Sudarsono.
Perusahaan Umum Jasa Tirta 1 Jawa Timur mengantisipasi terjadinya krisis air selama musim kemarau. Hingga saat ini, persediaan air di tujuh waduk di sepanjang aliran Sungai Brantas dan Bengawan Solo memang masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan irigasi, industri, bahan baku air minum, dan menggerakkan generator pembangkit listrik.
Direktur Teknik Perusahaan Umum Jasa Tirta 1 Jawa Timur, Raymond Valiant Ruritan, menjelaskan, pasokan air di empat waduk utama di Jawa Timur, yakni Waduk Sutami dan Waduk Selorejo di Malang, serta Waduk Bening di Madiun dan Waduk Wonorejo di Tulungagung, juga masih melimpah.
Menurut Raymond, persediaan air masih mencukupi hingga Oktober mendatang, yang diperkirakan mulai terjadi musim hujan. Namun, Perusahaan Umum Jasa Tirta harus tepat mengatur manajemen air. Apalagi, musim penghujan tak bisa diramal akibat anomali cuaca. “Faktor cuaca menentukan pasokan air ke waduk,” katanya kepada Tempo, Jumat, 6 September 2013.
Raymond juga menjelaskan, pihak Jasa Tirta pada Mei 2013 lalu bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuat hujan buatan melalui teknik modifikasi cuaca.
Hujan buatan perlu dilakukan untuk pengadaan cadangan air yang bisa digunakan selama musim kemarau. Sebab, meski potensi air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas mencapai 12 miliar meter kubik per tahun, aliran air tidak merata di seluruh kawasan di Jawa Timur.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika, mengingatkan bahwa debit air Sungai Brantas sebenarnya anjlok akibat kerusakan lingkungan di kawasan hulu, seperti perambahan dan alih fungsi kawasan hutan. Puluhan sumber air di kawasan hulu di Batu telah mati.
Berdasarkan data Walhi Jawa Timur, pada 2005 ditemukan 215 sumber mata air. Namun, dari tahun ke tahun terus berkurang. Pada 2010 berkurang menjadi 111 sumber mata air. Sedangkan pada 2012 hanya tersisa 13 sumber mata air.